Pada
suku bangsa Sabu terdapat sistem kekerabatan mulai dari yang terkecil hingga yang terbesar yakni keluarga kecil yang disebut
“Hewue ‘Dara Ammu” yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Keluarga kecil ini dipimpin oleh kepala
keluarga yaitu ayah. Keluarga yang lebih luas lagi disebut “Hewue Kabba ‘Gati” artinya sekumpulan
keluarga yang terdiri dari beberapa keluarga kecil yang bersatu dalam membuat upacara-upacara adat dalam keluarga yang difokuskan
dalam sebuah rumah adat. Keluarga tersebut berasal dari turunan satu kakek yang disebut “Hedau Appu”.
Kumpulan
yang lebih luas lagi disebut “Hewue Kerogo” yang merupakan kumpulan beberapa orang nenek beserta anak,
cucu dan cicitnya. Pemimpin sebuah Kerogo disebut “Kattu Kerogo” yang biasanya dipilih dari yang tertua
di antara mereka.
Kumpulan
yang paling besar disebut “Hewue Udu” yang dipimpin oleh “Bangngu Udu”. Keturunan dalam
Udu terdiri dari kumpulan beberapa buah Kerogo.
Dalam
pandangan dan kehidupan orang Sabu, bidang keagamaan tidak dipisahkan dari segi kehidupan lainnya.
Orang
Sabu tidak mengenal satu istilah yang menunjuk kepada pengertian agama secara tersendiri. Hidup keagamaan mereka adalah kehidupan
yang menerapkan ketentuan adat (hidup menurut uku). Penyimpangan dari aturan yang telah ditetapkan mengganggu keseimbangan
dan dikaitkan dengan timbulnya krisis atau tidak berlangsungnya suatu proses kehidupan sehari-hari yang wajar (misalnya hujan
tidak turun, timbulnya serangan hama, terjadinya kematian tidak wajar, dan sebagainya).
Aturan
atau uku yang mengatur seluruh hidup manusia berasal dari leluhur asal orang Sabu, dan berfungsi sebagai pedoman tingkah
laku sehari-hari, sekaligus menetapkan hubungan manusia dengan alam tak kelihatan atau dunia gaib, baik itu dengan dunia dewa
yang melindungi, maupun dengan kekuatan jahat yang mengancam kehidupan manusia. Segala sesuatu di dunia (raiwawa) berasal
dari Deo Ama (Dewa Bapak). Deo Ama ini juga disebut Deo Mone woro Mone Penynyi (Dewa Pencipta). Langit,
bumi, laut, dan segala isinya diciptakan oleh Dewa ini.
Dalam
visi Dewa Pencipta berada jauh dari kegiatan hidup sehari-hari serta dari upacara yang diselenggarakan berkenaan dengan
kehidupan sehari-hari, dan juga pengetahuan orang Sabu tentang Deo Ama sangat kabur. Untuk Dewa Pencipta ini tidak
dibuatkan sesaji. la adalah tokoh yang ditakuti sekaligus dihormati. Namanya tidak boleh disebut. la adalah tokoh tertinggi
yang penuh misteri.
Lebih
rendah tingkatnya dari Deo Ama adalah tokoh-tokoh makhluk halus yang mengatur kegiatan dalam tiap musim. Kegiatan musim
hujan diatur oleh Deo Rai, musim kemarau diatur oleh Pu Lo'do. Tokoh yang mengatur penyucian dan pembersihan
kembali dari akibat penyimpangan-penyimpangan adalah Rue, sedangkan yang bertugas mengawasi segala sesuatu adalah Do
Heleo. Selain tokoh-tokoh gaib tersebut di dunia nyata juga terdapat tokoh-tokoh dengan nama seperti tokoh di alam gaib.
Tokoh-tokoh di dunia nyata ini merupakan orang-orang terpilih yang dalam bahasa adatnya disebut Dau Pehami (orang yang
diurapi). Mereka ini adalah "bayangan" dari tokoh yang sebenarnya. Mereka-mereka inilah yang bertugas sebagai jembatan penghubung
antara manusia dengan tokoh di alam gaib. Hewan sesaji yang dipersembahkan pada waktu upacara merupakan sarana agar permohonan
yang disampaikan kepada para dewa dapat tercapai, hewan sesaji yang dikorbankan inilah yang membawa kata-kata permohonan upacara
dan berbicara dengan dewa yang dituju. Menurut anggapan orang Sabu, hubungan manusia dengan dunia gaib berpusat pada kegiatan
pertanian, peternakan, dan penggarapan laut. Kehidupan orang Sabu bergantung pada terjaminnya tiga hasil usaha di atas. Di
samping itu, orang Sabu juga bergantung kepada tiga makhluk gaib yang lain, yaitu Riru Balla (Langit), Rai Balla
(Bumi), dan Dahi Balla (Laut). Ketiga tokoh gaib ini sangat berperan dalam kegiatan pertanian orang Sabu. Riru
Balla, dikaitkan dengan kegiatan sadap nira dan usaha tani ladang, Langit yang putih, menandakan panen nira yang banyak,
dan langit berawan mengandung hujan untuk menumbuhkan tanaman di ladang. Bumi (Rai Balla) membiarkan tubuhnya terluka
karena digarap penduduk untuk usaha tani, ladang dan kebun. Oleh karena itu manusia wajib meletakkan sesaji kepada bumi agar
bekas lukanya "dimaniskan", disembuhkan. Kepada Laut yang memberikan hasil ikan dan sayur laut, harus pula diberikan sesaji.
Hidup
manusia tidak bebas dari persoalan dan kesulitan. Persoalan dan kesulitan yang dihadapi orang Sabu diberi makna selain sebagai
akibat tingkah laku yang menyimpang dari ketentuan aturan ataupun kegagalan memenuhi apa yang dituntut oleh ketentuan adat
(misalnya tidak menyelenggarakan sesuatu upacara karena tidak memperoleh hewan), juga dihubungkan dengan perbuatan kekuatan-kekuatan
jahat. Tokoh-tokoh makhluk halus yang mengancam kehidupan manusia itu, bertempat tinggal di laut. Di antara mereka ada yang
diturunkan antara perkawinan antara Bumi (Rai Balla) dengan perempuan dari dalam laut (Banni 'Dara Dahi). Tokoh-tokoh
jahat itu disebut Wango (setan). Sakit penyakit, hama tanaman, angin ribut, semuanya berasal dari laut. Untuk menghindari
perbuatan mereka, diselenggarakan upacara khusus untuk memohon agar mereka kembali ke tempat tinggalnya di laut. Upacara itu
disebut Pengaddu Wango.
Selain
daripada hal-hal negatif yang berasal dari perbuatan para Wango itu, orang Sabu percaya pula bahwa kesulitan yang dialami
manusia adalah hukuman terhadap pelanggaran dan kelalaian manusia sendiri.
Peristiwa
yang diamati dan dialami orang Sabu diberi pula makna dalam hubungannya dengan dunia gaib, baik makna positif maupun makna
negatif. Bila ular jatuh dari atap, atau burung terbang ke dalam rumah, dan sebagainya maka orang Sabu segera melakukan upacara
Kerei Kepoke (menanyakan tombak), untuk memperoleh jawaban dan mengetahui makna apa yang terkandung di belakang peristiwa
itu. Usaha mencari tahu biasanya berakhir dengan menginventarisasi sejumlah hal yang terjadi di masa lampau yang dapat digolongkan
sebagai pelanggaran atau kesalahan. Dalam upacara Kerei Kepoke ini, juga diselidiki terhadap makhluk halus manakah
kesalahan itu telah dibuat. Untuk memulihkan kembali aturan serta mengembalikan yang menyimpang itu kepada ketentuan semula,
harus diselenggarakan upacara khusus. Upacara itu disebut Peami Huba. (minta ampun) atau Pemola Anni (meluruskan
diri).
Di
kalangan orang Sabu, ada pula keyakinan terhadap kekuatan gaib yang tergolong jahat yang dimiliki manusia dan dapat mencelakakan
hidup dan usaha manusia lainnya. Kekuatan ini disebut Kewa'ga/menidu (suanggi/sihir).